Beberapa waktu terakhir dunia pendidikan di Indonesia dikenalkan dengan yang namanya Asesmen Nasional ( AN ) dan membawa serta anak turunan nya yaitu AKM. Awalnya mungkin beberapa insan pendidikan masih menganggap bahwa AN sama dengan UN, hanya ganti baju saja. Saya termasuk orang yang beranggapan demikian. Saya pikir apa pun namanya, intinya tetap sama, yaitu ujian akhir sebagai penentu kelulusan siswa.
Saya baru tersadarkan setelah mengikuti bimbingan teknis Asesmen Kompetensi Minimum, yang diselenggarakan oleh Kemdikbud melalui akun SIM PKB. Asesmen Kompetensi Minimum memang menjadi salah satu komponen dalam AN bersama dengan survey karakter dan survey lingkungan belajar. Dari 6 topik yang disampaikan dalam bimbingan teknis tersebut, saya seperti terbangun dari mimpi yang selama ini saya buat sendiri tentang AKM.
Asesment Kompetensi Minimum benar-benar berbeda dengan UN. Yang diujikan pun hanya literasi dan numerasi, alias kemampuan calistung siswa. Jadi siswa tidak perlu lagi belajar banyak mata pelajaran dengan hafalan. Mereka cukup menjawab soal dari bacaan yang diberikan.
Bentuk soal AKM juga berbeda, lebih menitikberatkan pada penalaran dan analisa. Istilah kerennya soal High Order Thinking Skill ( HOTS ), bukan sekedar jawaban yang sudah tersurat di dalam bacaan. Untuk ini, siswa perlu sering diberikan bacaan dan dilatih untuk menganalisanya. Untuk varian soalnya, ada penambahan jenis soal pada AKM.
Jika UN hanya ada dua jenis soal, yaitu pilihan ganda dan uraian, maka soal-soal AKM lebih bervariasi. Ada pilihan ganda, pilihan ganda kompleks, menjodohkan, isian singkat, dan uraian. Jika berminat mempelajari lebih lanjut bisa langsung mengikuti beberapa pelatihan pembuatan soal AKM, seperti salah satunya yang ada di KPI (Pelatihan pembuatan soal AKM)
Dari sisi peserta, Asesmen Kompetensi Minimum juga berbeda. Kalau UN pesertanya adalah semua siswa kelas akhir di suatu jenjang sekolah, dan menentukan kelulusan dari sekolah tersebut, maka peserta AKM adalah beberapa siswa sampel dari kelas di bawah kelas akhir, dan tidak menentukan kelulusan siswa. UN merupakan penilaian individu, sedangkan AKM merupakan penilaian untuk sekolah.
Dari beberapa perbedaan Asesmen Kompetensi Minimum dan UN, saya pribadi merasa lebih berharap pada AKM ini. Yang pertama, karena saya bukan orang dengan tipe belajar ‘nggethu’ (Fokus sampai tidak tidak mempedulikan lingkungan sekitar), Asesmen Kompetensi Minimum bisa mengakomodir siswa-siswa dengan gaya belajar seperti saya. Siswa tidak perlu lagi belajar dan menghafal macam-macam pelajaran.
Jika kemampuan literasi dan numerasi mereka telah terasah mulai dari awal di level 1, mereka tidak akan kesulitan mengerjakan soal-soal AKM. Yang kedua, sekolah dan wali murid tidak perlu lagi bingung memberikan bimbingan belajar untuk siswa. Bimbel tidak lagi diperlukan jika kemampuan literasi dan numerasi siswa telah mantap dipersiapkan di sekolah. Yang terakhir dan paling penting, tidak akan ada persaingan antar wali murid dan sekolah terkait hasil AKM, karena yang mengikuti AKM hanyalah siswa sampel, bukan semuanya.
Pemerintah telah berusaha memperbaiki sistem pendidikan di negeri kita, tinggal kita pihak sekolah bersedia atau tidak untuk berubah. Jangan hanya nama dan istilahnya saja yang berubah, tetapi prinsip pelaksanaannya tetap sama. Seperti UN, yang telah kita ketahui bersama, demi meluluskan seluruh siswanya sekolah telah melakukan kecurangan secara berjamaah. Kita berharap dengan AKM ini benar-benar akan melahirkan generasi yang melek literasi dan mampu memecahkan persoalan dalam kehidupan sehari-hari.
Penulis :
Dyna Rukmi harjanti Soeharto
Education Influencer KPI – Guru SDIT Al Uswah Banyuwangi
Tinggalkan Balasan